The Criminalization of Ade Emon and the Failure of Restorative Justice

Jakarta (11/02/22) – AMAR selaku tim advokasi hukum yang mendampingi Ade Emon tidak akan mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Cibinong. Pada 11 Februari 2022, Ade Emon telah divonis penjara selama 4 bulan 15 hari, karena  terbukti melakukan perusakan barang di Kantor Desa Bojong Koneng. Ade Emon didakwa dengan Pasal 170 ayat (1) KUHP atau Pasal 406 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP karena telah menyebabkan kerugian senilai 15 juta. Hukuman yang dijatuhkan terhadap Ade Emon termasuk ringan, dibandingkan dengan ancaman pidana Pasal 170 KUHP selama maksimum 5 tahun 6 bulan.

 

Hakim pun tetap menjatuhkan vonis, tanpa mempertimbangkan bahwa Ade Emon telah melakukan penggantian rugi kepada pihak kepala desa. Sebelumnya Tim Advokasi telah mengajukan permohonan keadilan restoratif (restorative justice) kepada Kapolres Bogor dan Kejaksaan Negeri Bogor terkait dengan kasus Ade Emon. Dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif, tata acara peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan, seharusnya dapat diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara yang lebih adil dan seimbang bagi pelaku dan korban. Melalui restorasi, korban dan pelaku memulihkan hubungan mereka dengan kesepakatan bersama. Pihak korban dapat menjelaskan kerugian yang dialami dan pelaku mendapatkan kesempatan untuk menebusnya melalui mekanisme ganti rugi, kerja sosial, atau kesepakatan lainnya. Pemulihan hubungan yang telah dilakukan oleh Ade Emon dan kepala desa didasarkan oleh kesepakatan dimana Ade Emon akan mengganti rugi senilai Rp. 1.610.000 kepada kepala desa kantor Bojong Koneng. Bahkan kepala desa pun telah mencabut laporan kepolisian tersebut.

 

Sebelumnya, dalam eksepsi yang diajukan oleh Tim Advokasi,  menegaskan bagaimana unsur keadilan restoratif telah dipenuhi dalam kasus Ade Emon berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Kapolri Nomor 8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana, dan Pasal 6 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja No. 15/2020). Beberapa syarat terpenuhinya restorative justice yakni  tindakan pidana yang baru pertama kali dilakukan, kerugian di bawah Rp 2,5 juta, adanya kesepakatan antara pelaku dan korban, dan tersangka mengganti kerugian korban. Tim Advokasi menilai, bahwa dakwaan yang dibuat Jaksa Penuntut Umum (JPU) memiliki narasi yang tendensius karena JPU tidak menempuh penyelesaian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, sebelum melakukan tuntutan pidana.

 

Terkait hal tersebut, Tim Advokasi juga menduga kuat bahwa penangkapan dan pemaksaan dari aparat penegak merupakan bentuk kriminalisasi yang dilakukan oleh PT Sentul City Tbk untuk membungkam pembela HAM sektor lingkungan dan menghentikan warga Desa Bojong Koneng yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan. “Ini yang perlu diketahui, masalah utamanya adalah soal penggusuran dan perampasan lahan oleh Sentul City. Ini hanya masalah turunannya,” ujar Alghiffari Aqsa, Managing Partner AMAR, selaku Tim Advokasi Ade Emon.

 

Untuk melanjutkan perlawanan, warga Bojong Koneng dan Tim Advokasi menghimbau pemerintah untuk melindungi hak atas tanah dan lingkungan warga, dan mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak secara netral. Melalui laporan yang sudah dikirim ke Komnas HAM pada tanggal 25 Januari 2022, Tim Advokasi dan warga berharap, Komnas HAM  dapat melakukan pemantauan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi dalam Kasus Ade Emon.

 

Kasus ini bermula ketika Sentul City mulai melakukan penggusuran lahan di Kampung Gunung Batu. Penggusuran tersebut diduga melanggar hukum, karena melanggar hak warga desa atas tempat tinggal yang layak, serta  merusak lingkungan sekitar. Aktivis HAM seperti Ade Emon dan Rocky Gerung pun turun ke lapangan untuk menolak aktivitas penggusuran tersebut. Meskipun Ade Emon serta warga Bojong Koneng lainnya sudah menolak, penggusuran terus berlanjut dengan alasan Sentul City sudah melakukan koordinasi dengan pihak desa. Mendengar hal tersebut, warga pun mendatangi balai desa. Sebelumnya, warga juga sudah berulang kali meminta Pemerintah Desa untuk mengatasi penggusuran tanah yang dilakukan rentang waktu Agustus hingga Oktober 2021, namun kepala desa tidak juga memberikan tanggapan. Saat kabar tiba bahwa kepala desa tidak akan menanggapi para warga, emosi warga pun memuncak, sehingga terjadi keributan, dan perusakan pun terjadi.

 

Mengetahui kerusakan yang terjadi, kepala Desa Bojong Koneng membuat laporan polisi pada Polres Bogor tertanggal 2 Oktober 2021. Kerusakan tersebut mengakibatkan kerugian senilai dengan Rp1.610.000. Ade Emon melakukan perdamaian di kantor desa dengan disaksikan oleh warga serta Pemerintah Desa pada 3 Oktober 2021. Laporan polisi pun telah dicabut oleh kepala desa. Namun Polres Bogor tetap menindaklanjuti laporan tersebut sehingga Ade Emon ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Melalui surat perintah penahanan, Ade Emon pun ditahan. Diketahui selama proses penangkapan, Ade Emon mengalami intimidasi dan penyiksaan seperti tembakan yang diarahkan ke sebelah kaki dan tangan, mata ditutup dengan lakban, dipukul di bagian dada, kepala dipukul dengan balok dan popor pistol, mulut diludahi, dan dibekap menggunakan kantong plastik. Ditambah lagi, Ade Emon kehilangan uang senilai Rp1.550.000 saat penangkapan. 

 

Tim Advokasi akhirnya memutuskan untuk membuat laporan kepada Seksi Propam Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Barat Resor Bogor mengenai dugaan pelanggaran kode etik atas penyiksaan yang dialami Ade Emon. Dalam proses perkara pidana, kepala desa serta warga desa telah mengajukan diri sebagai jaminan penangguhan penahanan dan permohonan penerapan keadilan restoratif. Warga desa pun telah berekonsiliasi dengan pemerintah desa Bojong Koneng.

 

Kasus ini menimbulkan pertanyaan: Apakah tekanan dari pihak Sentul City dapat memberi kuasa kepada aparat penegak hukum untuk mengenyampingkan hak dari Ade Emon. Opsi untuk menerapkan keadilan restoratif yang diabaikan oleh pihak kepolisian, kejaksaan dan hakim memperkuat posisi Sentul City untuk menindas dan mengabaikan hak-hak korban penggusuran. Hukuman yang dijatuhkan kepada Ade Emon oleh PN Cibinong memperlihatkan ketidakadilan akibat dari adanya ketidaksadaran aparat penegak hukum akan bagaimana perilaku tendensius dapat berakhir dengan pelanggaran HAM.