Sentul City Residents are Recovering Their Right to Running Water

Hak atas air merupakan salah satu dari hak asasi manusia yang mutlak dan tidak bisa dikurangi (non derogable right). Hal ini diakui oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) serta PBB. Di Indonesia, hak atas air telah dijamin pemenuhannya oleh negara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (UU SDA). Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa hak atas air minimal dapat memenuhi kebutuhan pokok rakyat sehari-hari demi kehidupan yang sehat dan bersih dengan jumlah yang cukup, kualitas yang baik, aman, terjaga keberlangsungannya, dan terjangkau.

 

Walaupun sudah diatur dengan sedemikian rupa dalam UU SDA, kesulitan terhadap akses air rupanya masih dialami oleh warga perumahan Sentul City-Bogor. Tanggal 22 Maret 2021, bertepatan dengan Hari Air Sedunia, warga perumahan Sentul City menggugat Perumdam Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor (Perumdam) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Pasalnya, selama ini Perumdam kerap menyulitkan warga dalam mendapatkan akses air bersih dengan tidak melakukan penyambungan jaringan air, serta menolak untuk menjadikan warga perumahan Sentul City sebagai pelanggan. “Menolak warga menjadi pelanggan merupakan perbuatan melanggar hukum dan melanggar hak atas air warga,” ujar Alghiffari Aqsa, Managing Partner AMAR salah satu kuasa hukum Komite Warga Sentul City (KWSC).

 

Pelanggaran hak atas air warga Perumahan Sentul City sudah menjadi permasalahan lama. Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di kawasan perumahan Sentul City dulunya pernah dilakukan oleh PT Sentul City secara swasta. Ombudsman RI Jakarta Raya pernah menyinggung dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Ombudsman RI (LAHP) tentang dugaan maladministrasi pengelolaan air minum di Sentul City, mereka menyatakan bahwa disamping membuat harga air lebih mahal bagi warga di kawasan Sentul City, keuntungan PT Sentul City dalam menjual air dapat merugikan negara. Sebab, harga air yang dibeli dari pemerintah jauh lebih murah dibandingkan harga jual yang ditetapkan.

 

Berangkat dari hal tersebut, pada tahun 2017, warga yang tergabung dalam KWSC menggugat Bupati Bogor ke PTUN Bandung untuk mencabut izin penyelenggaraan SPAM PT Sentul City. KWSC pun memenangkan gugatan tersebut sampai dengan tingkat kasasi, dimana Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 463 K/TUN/2018 memperkuat pertimbangan pada putusan tingkat pertama. Adapun PT Sentul City kembali mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) terhadap perkara tersebut, namun ditolak oleh MA. Menindaklanjuti putusan dari MA, maka terbit Surat Keputusan Bupati Bogor No. 693/309/Kpts/Per-UU/2019, yang dimana pengelolaan SPAM di kawasan Sentul City dan sekitarnya, telah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Perumdam.

 

Akan tetapi, hak atas air warga nyatanya belum juga terpenuhi karena Air tidak segera disambung, warga pun tetap ditolak menjadi pelanggan dengan alasan belum melunasi Biaya Pemeliharaan dan Perbaikan Lingkungan (BPPL) kepada PT Sentul City, padahal BPPL seharusnya tidak lagi ditagih. Berdasarkan Putusan MA Nomor 3415 K/Pdt/2018,  telah menetapkan bahwa penarikan BPPL adalah perbuatan melawan hukum (PMH). Selain itu, menagih BPPL kepada warga bukanlah wewenang dari Perumdam. Karena hal tersebut merupakan urusan keperdataan para warga dengan PT Sentul City.

 

Selain itu,  selama proses peralihan SPAM dari PT Sentul City ke Perumdam terdapat  kesepakatan bahwa Perumdam akan membantu penagihan utang BPPL warga kepada PT Sentul City. Hal tersebut jelas melanggar Pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (PP 122/2015).  Di dalam PP tersebut telah diatur kesepakatan apa saja yang dapat dibuat oleh penyedia SPAM dengan badan usaha swasta, yaitu kesepakatan investasi pengembangan SPAM, investasi unit distribusi SPAM, dan investasi teknologi pengoperasian SPAM. Perumdam telah melakukan kesepakatan di luar ketentuan yang diatur dalam PP 122/2015. Atas dasar perbuatan tersebut, para warga Sentul City akhirnya mengajukan gugatan kepada Perumdam ke PTUN Bandung.

 

Adapun dalil gugatan warga diperkuat dengan adanya amicus curiae dari Komnas HAM RI. Komnas HAM RI berpendapat bahwa alasan Perumdam yang menolak permohonan penyambungan air karena warga belum melunasi BPPL, adalah hal yang tidak berdasar. Komnas HAM RI menyatakan bahwa Perumdam tidak menerapkan asas-asas umum tata kelola pemerintahan yang baik (AUPB). Lebih lanjut dalam LAHP Ombudsman RI, dinyatakan bahwa potensi maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang oleh Perumdam karena tidak dilaksanakannya SPAM secara menyeluruh di kawasan Sentul City. Pada intinya, Komnas HAM RI dan Ombudsman mempunyai rekomendasi yang sama yakni memerintahkan kepada Perumdam untuk segera melakukan penyelenggaraan dan pengelolaan SPAM di kawasan Sentul City.

 

Pada akhirnya, gugatan TUN Air berhasil dimenangkan oleh warga Sentul City berdasarkan Penetapan dan Putusan Nomor 28/G/TF/2021/PTUN BDG, bahwa Perumdam telah melanggar prosedur dan substansi undang-undang serta AUPB. Perumdam dihukum untuk segera menyambung akses air bersih warga, serta agar warga yang menjadi pelanggan dikenakan tarif air setara dengan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. PTUN Bandung juga telah mengabulkan permohonan penundaan warga Sentul City, dimana selama perkara tersebut diproses hingga berkekuatan hukum tetap, Perumdam wajib melakukan penyambungan air pada rumah warga meskipun masih terdapat upaya hukum.

 

Meskipun warga telah berjasa mengembalikan pengelolaan air dari swasta ke negara (remunisipalisasi) dan menguntungkan negara dalam hal menambah jumlah konsumen Perumdam, perjuangan warga masih belum selesai. Perumdam memutuskan untuk mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PTTUN Jakarta) pada tanggal 26 Agustus 2021. Tindakan Perumdam ini menunjukkan sikap yang lebih mementingkan pihak swasta dan justru merugikan warga. Warga Sentul City berharap sampai perkara tersebut berkekuatan hukum tetap, peradilan tata usaha negara di setiap tingkatan dengan bijaksana memperkuat putusan PTUN Bandung tersebut.